Apabila diperdengarkan ayat ayat suci Al Quran maka diamlah dan dengarlah.
ﻭَﺇِﺫَا ﻗُﺮِﺉَ ٱﻟْﻘُﺮْءَاﻥُ ﻓَﭑﺳْﺘَﻤِﻌُﻮا۟ ﻟَﻪُۥ ﻭَﺃَﻧﺼِﺘُﻮا۟ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﺮْﺣَﻤُﻮﻥَ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
(Al-A’raf – 7:204)
Huraian
- Allah menuntut agar hambanya menghormati apabila terdengar bacaan al-Quran
- Rahmat yang dimaksudkan adalah petunjuk dan hidayah yang tersurat dan tersirat di sebalik ayat-ayat suci al-Quran.
Oleh itu, kita seharusnya menghormati apabila terdengar alunan bacaan al-Quran. Sekilas, ayat ini memerintahkan untuk mendengarkan dan memerhatikan bacaan Alquran. Hal ini berdasarkan pada kata اسْتَمِعُوا dan أَنْصِتُوا dengan menggunakan fi`l amr (kata perintah). Namun, ulama berbeda pendapat tentang ketegasan, kondisi dan objek perintah dalam ayat tersebut. Perbedaan itu dapat disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut:
1. Banyak ulama memahami ayat di atas secara khusus, yakni mengaitkannya dengan asbâb an-nuzûl. Dalam hal ini, ada dua kumpulan riwayat yang menjelaskan tentang sebab turunnya. Pertama, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat. Artinya, ketika imam membaca ayat Alquran, makmum harus diam dan mendengarkan.[1] Imam as-Suyûthi (849-911 H) dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, menyebukan banyak riwayat menjelaskan hal ini, diantaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيرَة فِي قَولِه: وَإِذَا قُرِىءَ القُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا، قَالَ: نَزَلَتْ فِي رَفْعِ الأَصْوَات، وَهُمْ خَلْفَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فِي الصَّلاَة.
“Dari Abû Hurairah, beliau berkata mengenai ayat, “Apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf [7]: 204), ayat ini turun ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat. Hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarîr, Ibnu Abî Hâtim, al-Baihaqî, dan Ibnu `Asâkir.[2]Imam Ahmad menerangkan bahwa umat Islam sepakat tentang surat al-A`râf ayat 204 ini berkenaan dengan bacaan shalat.[3] Bahkan Ibnu Abbâs pernah ditanya mengenai ayat tersebut, apakah ayat ini dipahami secara umum, beliau menjawab bahwa ayat ini khusus dalam shalat wajib.[4]
Kedua, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan shalat dan bacaan khatib dalam khutbah jumat dan atau khutbah `idul fitri dan adha. Riwayat yang menjelaskan hal ini adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاس فِي قَولِه: وَإِذَا قُرِىءَ القُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَه وَأَنْصِتُوا، قَالَ: نَزَلَتْ فِي رَفْعِ الأَصْوَات خَلْفَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فِي الصَّلاَة، وَفِي الخُطْبَةِ لِأَنَّهَا صَلاَةٌ، وَقَالَ: مَنْ تَكَلَّّمَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ.
“Dari Ibnu Abbâs, beliau berkomentar tentang ayat, “Apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah” (QS. Al-A`râf [7]: 204), ayat ini turun ketika para jamaah mengangkat suara dibelakang Nabi dalam shalat dan khutbah, karena khutbah adalah shalat. Nabi bersabda, “Siapa yang berbicara pada hari Jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka tidak ada shalat baginya.” Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi.[5]
Pendapat ini diusung oleh Mujahid, namun menurut Imam Ibn al-`Arabi, pendapat ini lemah, karena membaca Alquran dalam khutbah sangat sedikit, sedangkan perintah untuk diam dan mendengarkan dari mulai awal khutbah sampai akhirnya.[6] Imam as-Samarqandî menjelaskan bahwa Mujahid berpendapat, ayat tersebut bukan hanya berkenaan dengan khutbah saja, tapi juga berkenaan dengan bacaan imam dalam shalat. Bahkan jelas bahwa Mujahid berpendapat boleh berbicara ketika orang membaca Alquran di luar shalat.[7]
2. Kumpulan ulama al-Azhar yang tergabung dalam penulisan Tafsîr al-Wasîthmenjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi orang yang ada dalam suatu halaqah Alquran untuk diam dan mendengarkan bacaan Alquran.[8] Oleh pengarang tafsir, ayat ini dimaknai secara khusus walau tanpa ada penjelasan apa yang mengkhususkannya. Namun demikian, makna ini cukup bagus untuk diikut, karena tidak wajar jika Alquran dibacakan, orang yang ada dalam halaqah tersebut sibuk dengan urusan yang lain.
Muhammad Amin al-Urami al-Harari menjelaskan bahwa sangat dibenci (makrûh syadîdah) orang yang tidak mendengarkan bacaan Alquran pada halaqah yang mana Alquran dibacakan. Lebih tegas beliau menambahkan bahwa tidak boleh membaca Alquran pada kumpulan orang yang tidak mau mendengarkannya.[9]
Daftar Pustaka
Abû Bakar Muhammad bin Abdullâh (Ibn al-`Arabî), Tafsîr Ahkâm al-Qur’ân, Bairut: Dâr al-Jail, tt.
Abû Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm as-Samarqandî (w. 375 H), Tafsîr as-Samarqandî al-Musammâ bi Bahr al-`Ulûm, Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1993.
Al-Qurthubi, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002.
An-Nasâ’i, Sunan an-Nasâ’i, Riyâdh: Maktabah al-Ma`ârif, tt.
Fakhruddîn ar-Râzî, at-Tafsîr al-Kabîr au Mafâtîh al-Ghaib, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, 2003.
Jalal ad-Din as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Cairo: Markaz Hijr li al-Buhuts wa ad-Dirasat al-`Arabiyah wa al-Islamiyah, 2003.
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, al-Jumanatul Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: J-ART, 2005.
Muhammad Amîn al-Uramî al-Hararî, Tafsîr Hadâ’iq ar-Rauh wa ar-Raihân fî Rawâbî `Ulûm al-Qur’ân, Bairut: Dâr ath-Thauq an-Najâh, 2001.
via Bin Usrah
Blogger Comment
Facebook Comment