Arti Nasab dalam Islam

Related image


Dalam suatu pernikahan terutama pernikahan yang dilaksanakan sesuai syariat islam, tentunya bertujuan untuk membangun rumah tangga ataupun keluarga termasuk memiliki anak atau keturunan (baca Tujuan pernikahan dalam islam) Kata nasab sering digunakan untuk menyebutkan kata keturunan dan dalam islam sendiri, nasab memiliki peranan yang penting terutama menyangkut beberapa hal seperti hak waris (baca hak waris anak tiri), perwalian dan lain sebagainya. Untuk mengetahui arti nasab dengan lebih jelas, simak penjelasan berikut ini .
ads
Pengertian Nasab
Kata nasab yang sering kita dengar tentunya berasal dari bahasa arab  yakni kata “an nasab” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yakni keturunan atau kerabat. Kata nasab juga berarti memiliki ciri atau atau memberikan karakter keturunannya. Adapun dalam kamus besar bahasa Indonesia kata nasab itu sendiri tidak memiliki perbedaan ari atau pergeseran makna. Nasab dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya keturunan terutama keturunan dari pihak bapak.
Nasab juga diartikan sebagai suatu tali yang menghubungkan keluarga dan hubungan darah lainnya. Sedangkan secara istilah, nasab memiliki arti keturunan yang didapat dari pernikahan sah dan memiliki ikatan atau hubungan darah yang disebut keluarga baik yang merupakan hubungan darah yang bersifat vertikal atau ke atas seperti ayah, ibu, kakek, nenek dsb ataupun yang bersifat horizontal atau menyamping seperti paman, bibi, saudara dll.

Sistem Penentuan Nasab

Ditinjau dari ilmu antropologi, ada beberapa sistem nasab atau keturunan yang berlaku dibeberapa belahan dunia atau tempat yang berbeda. Sitem tersebut antara lain
  • Sistem bilateral/parental, yaitu sistem keturunan yang menganggap keturuan berasal dari hubungan kekerabatan kedua pihak orangtua baik ayah maupun ibu.
  • Sistem patrilineal, yaitu sistem yang menyebutkan bahwa keturnan didapat dari hubungan kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja. Dalam sistem ini keturunan hanya dianggap atau dilihat dari kerabat atau keluarga ayahnya saja.
  • Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekeluargaan melalui pihak ibu atau perempuan saja.
  • Sistem bilineal atau yang dikenal dengan dubbel-unilateral, yaitu sistem yang memperhatikan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja untuk beberapa hal dan demikian juga dengan keturunan pihak perempuan yang hanya berlaku untujk beberapa hal tertentu.
Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu pada Alquran dan Sunnah menganut sistem bilateral/parental. Sedangkan Ulama Fiqih berpendapat bahwa nasab dalam agama islam cenderung menganut sistem patrilineal. Hal tersebut ditegasakan sesuai dengan dalil berikut ini :
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya.Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”

Sebab Penentuan Nasab

Dalam menentukan ansab atau keturunan maka ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Dalam islam sendiri ada tiga sebab utama dalam penentuan nasab yaitu sebagaimana yang diuraikan dalam penjelasan berikut ini :
1. Melalui Pernikahan Sah
Para ulama fiqih seorang anak yang lahir dari seorang wanita atau perempuan melalui pernikahan yang sah adalah anak dari laki-laki atau ayahnya tersebut. Adapun untuk menjadi nasab anak tersebut maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah
  • Pertama, suami telah dewasa serta matang dalam hal biologis sehingga ia dipastikan dapat memberi keturunan, apabila ia tidak dapat memberi keturunan atau memiliki penyakit kelamin, maka ia tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang anak.
  • Kedua, usia janin atau kandungan sang istri haruslah setidaknya berusia enam bulan sejak pernikahan. Hal ini sesuai dengan mahzab Hanafi namun berdasarkan pendapat mahzab yang lain usia kandungan haruslah terhitung enam bulan atau lebih sejak terjadi persetubuhan setelah pernikahan jika usianya kurang maka anak tersebut tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang suami.
  • Ketiga, adanya persenggemaan atau persetubuhan antara suami dan istri setelah menikah secara lahiriyah atau bilogis hal ini sesuai dengan pendapat tiga mahzab sedangkan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hubungan tersebut boleh bersifat imajinasi atau akal saja. Meskipun demikian tetap saja anak yang diakui dalam nasab adalah anak yang didapt melalui hubungan lahiriyah dan jika sang suami merasa tidak pernah menggauli sang istri namun sang istri hamil maka ia boleh menjatuhkan tuduhan li’an atau anak tersebut bukanlah anak kandungnya melainkan hasil perzinahan atau perselingkuhan dalam rumah tangga (baca zina dalam islam)
2. Melalui Pernikahan Fasid
Pernikahan fāsid dapat diartikan sebagai pernikahan yang dilaksanakan tidak memenuhi syarat amupun rukun nikah yang berlaku dalam agama islam. Misalnya saja pernikahan yang melibatkan mempelai wanita yang masih menjalani masa iddah talak (baca hukum talak dalam pernikahan dan perbedaan talak satu, dua dan tiga ) baik cerai mati maupun cerai hidup. Adapun anak tersebut yang nantinya lahir dari sang wanita dapat terikat nasabnya dengan sang suami apabila sang suami memiliki syarat-syarat yang sama dengan sebab penentuan nasab melalui pernikahan yakni sang suami mampu menghamili sang istri, usia kandungan istrinya lebih dari enam bulan serta terjadinya persetubuhan yang menyebabkan hamilnya sang istri.
3. Nasab yang disebabkan karena Wāti Syubhat
Istilah Wāṭi syubhat memiliki arti bahwa adanya persetubuhan yang terjadi tanpa suatu kesengajaan misalnya saja seorang lelaki menyetubuhi seseorang dalam suatu kamar tanpa penerangan atau sang laki-laki tidak dapat melihat wajah atau rupa wanita yang ia anggap sebagai istrinya.

Adapaun perstubuhan wati syubhat ini merupakan suatu kesalahan dan apabila si wanita hamil maka anak yang lahir, nasabnya dikaitkan dengan pria tersebut. Adapun syarat laki-laki tersebut menjadi nasab anak yang lahir karena watisyubhat adalah jika usia kehamilannya minimal enam bulan dan masa kehamilan mwanita tersebut atau lahirnya sang anak tidak melewati masa maksimal kehamilan yakni sembilan bulan sepuluh hati. Anak yang lahir lebih lama dari masa kehamilan nasabnya tidak dapat dikaitkan dengan lelaki yang menyetubuhinya secara wati syubhat tersebut.
Demikianlah arti nasab dan sebab penentuan nasab seorang anak berdasarkan fikih klasik (baca fiqih pernikahan). Dengan demikian dapat disimpulkan seorang aanak dapat terikat nasab dengan ayahnya atau seorang laki-laki jika memenuhi sebab-sebab diatas dan jika tidak maka nasabnya terkait dengan ibunya saja. Dampak atau pengaruh dari nasab inilah yang akan menentukan mahram (baca pengertian mahram dan muhrim dalam islam) atau wanita yang haram dinikahi , hubungan kekerabatan, perwalian nikah (baca syarat-syarat wali nikah dan urutan wali nikah), pemberian nafkah, waris serta untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga maupun pernikahan sedarah yang tidak diperbolehkan dalam islam.

Sumber : http://dalamislam.com



via Bin Usrah
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment