Hukum Menikahi Sepupu Dalam Islam


Pernikahan adalah salah satu dari bentuk ibadah dalam ajaran Islam yang sangat dianjurkan untuk seluruh manusia. Sebagaimana apa yang telah Allah sampaikan di dalam Al-Quran, pernikahan merupakan wujud dari fitrah manusia yang memiliki cinta dan kasih, agar terwujud ketentraman dalam keluarga, serta menjaga dari timbulnya hal-hal yang menjerumuskan pada kemaksiatan pergaulan bebas. Walaupun begitu pernikahan bisa saja memunculkan konflik, namun hal tersebut harus tetap bisa diatasi. Untuk itu dibutuhkan ilmu mengenai membangun rumah tangga dalam islam.
“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untuk pasangan-pasangan dari jenismu sendiri (manusia), supaya kamu cenderung dan merasa tentram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Arrum : 21)

Pentingnya Pernikahan

Untuk melangsungkan pernikahan yang membawakan ketentraman dan kasih sayang secara hakiki, ternyata Islam memiliki aturan dengan siapakah seharusnya pernikahan itu dilaksanakan. Salah satunya adalah bukan yang merupakan mahram. Lantas bagaimanakah jika salah satu yang menjadi calon pasangan dalam keluarga merupakan sepupu, yang merupakan saudara sendiri?
Beberapa muslim mendapatkan kebingungan ketika menghadapi persoalan menikah dengan sepupu. Secara umum dan kedekatan dengan jalur keluarga, sepupu merupakan anak dari Adik atau Kakak Orang Tua kita. Tentunya seorang sepupu pastinya sudah seperti bagian dari keluarga tersendiri (seringkali dianggap kakak/adik sendiri), padahal bisa jadi Islam tidak memandangnya seperti yang kita gambarkan. Untuk menjawab persoalan hukum menikahi sepupu dalam ajaran islam, maka tentunya umat muslim harus mengetahui terlebih dahulu siapa-siapa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dinikahi. Dengan begitu, kita akan mengetahui bagaimana hukum dari menikahi orang yang berstatus sepupu.

Mahram Dalam Islam

Syarat seseorang yang bisa dinikahi dalam islam adalah orang yang tidak memiliki status Mahram. Pengertian Mahram , bisa dilihat melalui arti kata dalam bahasa arabnya.  Dalam bahasa Arab, Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi dikarenakan sebab keturunan, ibu persusuan yang sama dan pernikahan yang telah dijalinkan. Beberapa muslim di Indonesia terkadang salah dalam menggunakan istilah mahram dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Muhrim sebetulnya bermakna orang yang sedang dalam kondisi ihram. Sehingga tidak bisa disamakan kata mahram dan muhrim.
Persoalan mengenai mahram dalam islam dijelaskan dalam QS : An-Nisa : 22-23,
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan seburuk-burunya jalan (yang ditempuh. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan pula bahwa,
“Ayat yang mulia ini adalah ayat pengharaman mahram dari nasab dan apa saja yang mengikutinya dari persusuan dan mahram-mahram karena pernikahan.”
Persoalan Mahram pun dijelaskan pula bagi perempuan oleh Allah dalam QS An-Nur : 31.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Dari Ayat-Ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya, pihak atau Status orang yang tidak boleh kita nikahi adalah,
  • Orang Tua Kandung, Orang Tua dari Ayah dan Ibu (Nenek/Kakek), sampai ke atas, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan
  • Anak Kandung, Cucu, dan seterusnya ke bawah, baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan
  • Saudara yang se-Ayah dan se-Ibu
  • Saudara Perempuan atau Laki-Laki dari Pihak Bapak atau Ibu (Paman atau Bibi)
  • Saudara Perempuan atau Laki-Laki dari Kakek atau Nenek, baik dari Pihak Bapak atau Ibu, sampai ke atasnya
  • Anak dari saudara sekandung (keponakan), cucu, dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki atau perempuan
Jika kita melihat dari penjelasan Al-Quran, siapa Wanita yang haram dinikahi dan suatu pernikahan diharamkan jika dilakukan pada saudara atau orang yang memiliki status bergaris keturunan lurus. Mulai dari Nenek, Kakek, Orang Tua, Adik atau Kakak Kandung, Anak dari Adik atau Kakak Kandung, Cucu dari Anak Kandung, dan seterusnya yang memiliki satu garis lurus keturunan. Untuk itu, posisi sepupu bukan berasal dari garis lurus tersebut, atau memang dari garis yang lain, walaupun bisa jadi berasal dari satu nenek/kakek yang sama.
Dalam hal ini, kita tidak menemukan di dalam Al Quran, bahwa status sepupu (saudara yang berasal dari Adik Kandung Orang tua (Paman/Bibi) merupakah Mahram. Untuk itu, secara status ke-mahraman, hukum menikahi sepupu menjadi halal dinikahi, karena ia bukan termasuk pada keturunan garis lurus ke atas ataupun ke bawah dari garis keluarga.

Menikahi Sepupu adalah Halal

Jika dilihat dari ayat-ayat serta penafsiran dari Tafsir Ibnu Katsir, bahwa saudara yang berasal dari anak dari saudara ayah atau ibu bukan termasuk pada Mahram. Untuk itu, secara garis keluarga sepupu bisa dinikahi atau sah dinikahi karena bukan termasuk garis Mahram.
Dari budaya yang ada beberapa menganggap hal ini bukanlah hal yang umum, mengingat bahwa Sepupu masih merupakan saudara terdekat dari kakak atau adik orang tua. Namun jika kembali kepada hukum Islam, kita bisa mendapati bahwa Sepupu bukanlah yang berstatus mahram. Karena pendasaran Islam bukanlah dari aspek kebiasaan, budaya, atau pertimbangan irasional. Pertimbangan Islam dikembalikan kepada kemaslahatan dan kebaikan untuk manusia itu sendiri.
Namun, terlepas dari halalnya sepupu untuk dinikahi, sebagai muslim pun tentu tetap harus memperhatikan bagaimana kira-kira kriteria calon suami yang baik menurut islam ataupun kriteria calon istri yang baik menurut islam . Terlebih pencarian dan pemilihan jodoh bukanlah hal mudah, tentunya harus dengan pertimbangan dan mempertimbangkan tuntunan Islam mengenai hal tersebut. Sebagaimana islam senantiasa menyuruh untuk shalat istikharah terlebih dahulu, mengenal baik asal keluarga dan akhlaknya. Untuk itu walaupun sepupu sebagai calon pasangan yang diperbolehkan, mencari jodoh dalam islam, tetap harus benar-benar dipertimbangkan.
Untuk menikah dengan sepupu dalam islam memiliki hukum yang halal, namun tetap bukan satu-satunya syarat. Untuk itu tetap harus mempertimbangkan dan mendasarkan apa tujuan pernikahan dalam islam  itu sendiri. Untuk itu pilihan menikahi sepupu bukanlah suatu yang salah atau haram, melainkan bisa menjadi pilihan berjodoh. Terutama, alasan cinta menjadi alasan fitrawi yang mendorong kedua insan menggabungkannya dalam pernikahan.

Dampak Positif dari Pernikahan Saudara Sepupu

Islam memiliki aturan yang sangat adil dan menentramkan. Adanya aturan mahram dan siapa saja yang boleh dinikahi tentunya membawakan dampak kemaslahatan. Adanya hukum yang halal menikahi sepupu dapat dilihat dari beberapa dampak positif sebagai berikut.
  1. Memperkuat Kekeluargaan dari Keturunan Nenek Moyang yang sama
Dalam hal ini kita bisa mengetahui bahwa dengan menikahnya sepasang yang berasal dari keturunan keluarga atau nenek moyang yang sama, membuat keluarga tersebut menjadi semakin kuat garis keturunannya. Keluarga yang sudah ada semakin kuat dan semakin besar. Tentunya banyak keluarga yang juga menginginkan keluarganya menjadi keluarga besar dan kuat garis keturunannya kepada generasi-generasi di bawah.
2. Sudah mengenal jauh lebih dekat calon pasangan atau jodohnya
Setiap yang menikah tentunya harus saling mengetahui, mengenal, dan mendalami satu sama lain. Hubungan sepupu adalah salah satu hubungan saudara dekat dari keluarga orang tua, tentunya masing-masih sudah sering berinteraksi, mengenal, dan mengetahui lebih jauh sejak kecil bagaimana kehidupan masing-masing.
Untuk itu, jika menikah dengan sepupu tentunya akan mudah untuk mengenal, bahkan tidak perlu waktu yang lama untuk mengenal. Dalam islam pengenalan tersebut dikenal dengan istilah ta’aruf. Namun, bagi yang belum mengenal sepupu calon pasangannya lebih dekat penting kiranya mengetahui pula bagaimana seharusnya Ta’aruf menurut Islam.
3. Tidak sulit untuk adaptasi kebiasaan dan budaya
Menikah biasanya mempersatukan adat dan kebiasaan antar dua keluarga dari masing-masing pasangan. Karena masing-masing pasangan berasal dari keturunan atau keluarga yang dekat, maka tentu tidak sulit untuk bisa beradaptasi dan membiasakan diri di lingkungan keluarga. Hal ini dikarenakan masing-masing berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan dan budaya yang notabene hampir sama. Selain itu juga, masing-masing pastinya sudah terbiasa berinteraksi dengan keluarga yang sudah ada sebelumnya. Sehingga konflik yang biasanya terjadi karena kurangnya adaptasi akan minim terjadi. (baca juga  Konflik dalam Keluarga – Penyebab dan Cara Mengatasinya)

Kekhawatiran terhadap Pernikahan dengan Sepupu

Bagaimanapun aturan islam mengatur hukum pernikahan dengan sepupu yang bukan termasuk mahram, beberapa kalangan masyarakat masih ada yang meragukan atau mengkhawatirkan pernikahan tersebut. Diantara sebabnya adalah :
  1. Tidak terbentuknya garis keluarga baru
Menikah dengan keluarga dekat memang membesarkan keluarga yang sudah terbentuk, namun jalinan dengan keluarga yang lain tidak terjadi. Secara umum jika menikah dengan orang baru atau berlainan garis keluarga akan mendekatkan keluarga besar yang jauh. Jika pernikahan dengan sepupu dilaksanakan, ukhuwah antar keluarga lain di masyarakat tentunya tidak terbentuk. Beberapa golongan justru mengharapkan adanya sistem keluarga satu dengan yang lain terikat, agar mendekatkan yang jauh.

2. Kekhwatiran masalah genetis dengan pernikahan saudara dekat
Beberapa masyarakat ada yang mengkhawatirkan permasalahan genetis atau keturunan yang dihasilkan dari pasangan yang berasal dari saudara dekat. Sebetulnya belum ada penelitian yang valid mengenai hal ini, namun beberapa kasus terjadi kecacatan pada yang menikah dengan sedarah.Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi haram bukan pernikahan dengan saudara dekat, melainkan pernikahan sedarah yang notabene merupakan keturunan garis lurus. Misalnya nenek dengan cucu nya, ayah dengan anak, dsb. Untuk itu perlu kiranya mengetahui bagaimana pernikahan sedarah.
Namun, dari adanya kekhawatiran tersebut tentunya masih perlu di teliti kembali dengan pendekatan yang lebih ilmiah. Aturan Allah dalam ajaran islam, memberikan aturan diperbolehkannya sepupu dinikahi tentunya membawakan kemaslahatan, bukan justru kemudharatan yang banyak.
Untuk itu, pernikahan adalah sebuah pilihan. Akan kemanakah hati dan cinta tersebut akan dilabuhkan. Tentunya kembali pertimbangan diserahkan bagaimana pertimbangan individu dengan dasar aturan Allah mengenai hal tersebut. Karena setiap pilihan tentunya mengandung konsekwensi dan resiko yang harus diterima oleh pemilihnya.




Sumber : dalamislam.com


via Bin Usrah
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment